Penulis Parmadi., S.E., M.E Dosen Prodi Ekonomi Pembangunan FEB UNJA
PADA LAUT: IKAN ATAU SAMPAH
Saat ini tercatat 150 juta ton plastik di lautan dunia. Jumlah ini akan meningkat sebesar 250 juta lagi jika tren urbanisasi, produksi, dan konsumsi terus berlanjut. Laporan dari World Economic Fordan Ellen Mac Arthur Foundation memperkirakan bahwa pada tahun 2050 akan ada “lebih banyak plastik ketimbang ikan” kecuali bila terdapat “jalur-jalur paska-guna yang efektif untuk plastik; pengurangan kebocoran plastiK ke sistem-sistem alami secara drastis, khususnya lautan; dan penghentian penggunaan plastik berbasis fosil.” Sampah laut, disebut sebagai kotoran laut, didefinisikan oleh UNEP (2009) sebagai bahan padat yang sulit terurai, hasil pabrikan, atau olahan yang dicampakkan, dibuang, atau dibiarkan di lingkungan laut dan pesisir. Sampah laut diartikan sebagai barang-barang yang dibuat atau digunakan oleh manusia dan secara sengaja dibuang ke laut atau sungai, atau dibiarkan tergeletak di pantai atau pesisir; terhanyutkan secara tak langsung ke laut melalui sungai, saluran pembuangan air, air limpasan, atau angin; atau secara tak sengaja hilang, termasuk barang-barang yang hilang di laut (perlengkapan penangkapan ikan)
Sampah laut terdapat di semua habitat laut, mulai dari kawasan-kawasan padat penduduk hingga lokasi-lokasi terpencil yang tak terjamah manusia; dari pesisir dan kawasan air dangkal hingga palung-palung laut dalam. Kepadatan sampah laut beragam dari satu lokasi ke lokasi lain, dipengaruhi oleh kegiatan-kegiatan manusia, kondisi perairan atau cuaca, struktur dan perilaku permukaan bumi, titik masuk, dan karakteristik fisik dari materi sampah. Sampah laut terdapat di semua habitat laut, mulai dari kawasan-kawasan padat penduduk hingga lokasi-lokasi terpencil yang tak terjamah manusia; dari pesisir dan kawasan air dangkal hingga palung-palung laut dalam. Kepadatan sampah laut beragam dari satu lokasi ke lokasi lain, dipengaruhi oleh kegiatan-kegiatan manusia, kondisi perairan atau cuaca, struktur dan perilaku permukaan bumi, titik masuk, dan karakteristik fisik dari materi sampah.
Salah satu jenis sampah laut adalah plastik. Sebanyak 5 negara mendapat predikat sebagai penimbul sampah plastik ke laut terbesar di Asia Selatan dan Tenggara. Negara Sri Lanka, yang jika dilihat dari jumlah sampah plastik per tahun, termasuk di urutan ke 5 dengan cuma membuang sampah plastik sejumlah 1,8 juta ton dengan 84 persen di antaranya tidak diolah dan akhirnya mencemari laut. Tercatat, setiap penduduk pesisir Sri Lanka bertanggungjawab atas 109 kilogram sampah plastik setiap tahunnya. Peringkat 4 adalah Filipina dengan 2,2 juta ton sampah plastik diproduksi setiap tahun, 83 persen di antaranya tidak diolah alias mengapung di laut. Secara keseluruhan, setiap penduduk pesisir Filipina membuang 22,6 kilogram sampah plastik ke laut setiap tahunnya. Peringkat 3 dipegang oleh Vietnam. Dari dua juta ton sampah plastik yang diproduksi Vietnam, 1,8 juta ton alias 88 persen mencemari air laut. Artinya, setiap penduduk pesisir Vietnam membuang 32,9 kilogram sampah plastik ke laut per tahun – termasuk yang paling tinggi di dunia. Peringkat 2 oleh Indonesia dengan 3,2 juta ton. Dihitung dari presentase jumlah sampah plastik yang tidak diolah, Indonesia termasuk yang paling tinggi di dunia. Sebanyak 87 persen dari 3,8 juta ton sampah plastik yang dibuang setiap tahun mengambang di laut. Itu berarti setiap penduduk pesisir Indonesia bertanggungjawab atas 17,2 kilogram sampah plastik yang mengapung dan meracuni satwa laut. Sebagai juaranya adalah China dengan 8,8 Juta Ton. Hasil studi University of Georgia, China adalah negara konsumen plastik terbesar di dunia. Rata-rata 11, 5 juta ton terdapat sampah plastik per tahun dan sebanyak 78% di antaranya terbuang di lautan lepas. Jika dihitung, setiap penduduk di wilayah pesisir Cina membuang 33,6 kilogram plastik ke laut per tahunnya.
Untuk sampah laut dapat digolongkan dalam beberapa kategori: (a) Plastik, mencakup beragam materi polimer sintetis, termasuk jaring ikan, tali, pelampung dan perlengkapan penangkapan ikan lain; barang-barang konsumen keseharian, seperti kantong plastik, botol plastik, kemasan plastik, mainan plastik, wadah tampon; popok; barang-barang untuk merokok, seperti puntung rokok, korek api, pucuk cerutu; butir resin plastik; partikel plastik mikro; (b) Logam, termasuk kaleng minuman, kaleng aerosol, pembungkus kertas timah dan pembakar (barbeque) sekali pakai; (c) Gelas, termasuk botol, bola lampu; (d) Kayu olahan, termasuk palet, krat/peti, dan papan kayu; (e) Kertas dan kardus, termasuk karton, gelas, dan kantong; (f) Karet, termasuk ban, balon, dan sarung tangan; dan (g) Pakaian dan tekstil, termasuk sepatu, bahan perabot, dan handuk
KEBIJAKAN PENGELOLAAN
Sebagai Negara dengan peringkat ke 2 terbanyak di laut, tentu memberikan ancaman yang luas bagi kehidupan ekosistem dan lingkungan di wilayah pesisir. Pada tahun 2010, Indonesia memiliki populasi pesisir sebesar 187,2 juta yang tinggal dalam jarak 50 km dari pesisir, dan setiap tahunnya menghasilkan 3,22 juta ton sampah yang tak terkelola dengan baik, diperkirakan mengakibatkan kebocoran 0,48-1,29 juta ton metrik sampah plastik per tahun ke lautan
Sampah plastik hingga kini masih menjadi persoalan serius bagi Indonesia dan juga negara lain di dunia. Di Nusantara, sampah plastik tak hanya dijumpai di wilayah darat saja, tapi juga sudah menyebarluas ke wilayah laut yang luasnya mencapai dua pertiga dari total luas Indonesia. Semua pihak dihimbau untuk terus terlibat dalam penanganan sampah plastik yang ada di lautan. Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) mencatat, setiap tahun sedikitnya sebanyak 1,29 juta ton sampah dibuang ke sungai dan bermuara di lautan. Dari jumlah tersebut, sebanyak 13.000 plastik mengapung di setiap kilometer persegi setiap tahunnya. Fakta tersebut menasbihkan Indonesia menjadi negara nomor dua di dunia dengan produksi sampah plastik terbanyak di lautan. Semakin banyak sampah plastik di lautan, maka semakin besar ancaman bagi kelestarian ekosistem di laut. Meski ancaman kerusakan tak hanya berasal dari sampah plastik, tetapi dampak yang ditimbulkan dari sampah plastik juga sangat berbahaya. Ancaman kerusakan ekosistem di laut, juga disebabkan oleh pencemaran industri, penangkapan ikan berlebih, reklamasi pantai, dan pengasaman laut sebagai dampak perubahan iklim. Kondisi itu, harus segera dicarikan solusi untuk menyelamatkan ekosistem laut yang bermanfaat sangat banyak untuk masyarakat.
Berbagai masalah dan tantangan yang dihadapi saat ini dalam mengelola sampah plastik yang ada di laut harus dipecahkan bersama. Selain itu, harus juga dibahas bagaimana mencari inovatif, kebijakan lokal dan nasional, kemitraan swasta, publik, dan pendidikan untuk perubahan perilaku masyarakat agar berperan aktif memerangi sampah plastik. Jika sampah plastik di laut tidak dicegah produksinya, maka itu akan mengancam keberadaan biota laut yang jumlahnya sangat banyak dan beragam. Tak hanya itu, sampah plastik bersama mikro plastik yang ada di laut juga bisa mengancam kawasan pesisir yang memang sangat rentan.
Berbagai upaya terus dilakukan Pemerintah Indonesia untuk bisa mengurangi dan menurunkan produksi sampah plastik di laut. Upaya yang dilakukan, melalui penanganan yang terintegrasi, baik dari tataran kebijakan hingga pengawasan implementasi kebijakan penanganan sampah plastik, khususnya sampah plastik laut., terdiri dari empat pilar utama, yaitu perubahan perilaku, mengurangi sampah plastik yang berasal dari daratan, mengurangi sampah plastik di daerah pesisir dan laut, serta penegakan hukum, mekanisme pendanaan, penelitian-pengembangan (inovasi teknologi) dan penguatan institusi. Kolaborasi Bilateral, Regional juga kerja sama Pemerintah dan swasta terus digalang untuk mengendalikan sampah plastik laut. Upaya pengendalian mutlak dilakukan melalui pemantauan dan pengumpulan sampah plastik dari laut dengan menggunakan teknologi yang relevan untuk menjamin hasilnya.
Dalam Konferensi East Asia Summit (EAS) 2017 yang digelar di Bali, Indonesia mengampanyekan perang terhadap sampah plastik di lautan. Dalam konferensi tersebut, Indonesia menyampaikan beberapa langkah yang telah dilakukan Indonesia untuk memerangi sampah plastik di laut. Diantaranya adalah penerbitan Perpres Nomor 16 Tahun 2017 tentang Kebijakan Kelautan Indonesia dan National Plan of Action on Marine Plastic Debris 2017-2025 (Mei 2017), Kampanye Combating Marine Plastic Debris serta Reduction Plastic Bag Production and Use.” EAS merupakan forum regional yang menjadi wadah dialog dan kerja sama strategis para pemimpin dari 18 negara dalam menghadapi berbagai tantangan utama yang ada di kawasan. Ke-18 negara peserta EAS adalah 10 negara anggota ASEAN, Amerika Serikat, Australia, India, Jepang, Korea Selatan, RRT, Rusia, dan Selandia Baru.
STRATEGI PEMERINTAH
Pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah menggelontorkan lima strategi untuk menangani masalah sampah laut yaitu: pertama; Gerakan nasional peduli sampah di laut.Gerakan ini dilakukan melalui pendidikan bagi Aparatur Sipil Negara (ASN), pelajar, mahasiswa dan pendidik. Dalam aksi ini, KLHK sudah menyelenggarakan gerakan nasional sosialisasi mengenai dampak negatif sampah laut, terutama plastik bagi kesehatan dan ekosistem, serta sosialisasi terkait pengelolaan sampah terpadu. Progresnya adalah pelaksanaan sosialisasi Gerakan Nasional Pilah Sampah dari Rumah di Jakarta, Kota Bitung, Kota Mataram dan Semarang. Kegiatan lainnya adalah mengadakan pelatihan pemilahan dan pemanfaatan sampah plastik di Ponorogo, Kabupaten Bandung, Kota Cimahi, Kabupaten Takalar, Kota Bandung, Kota Malang dan Kabupaten Manggarai Barat. KLHK juga memberikan penghargaan untuk dunia usaha, media massa, kelompok masyarakat, dan tokoh agama/masyarakat terkait inovasi dan kepeloporan dalam pengelolaan daur ulang sampah, termasuk plastik. Penghargaan kepada produsen untuk inisiatif dan kinerja pengurangan sampah pada 2016 dan 2017 serta penghargaan kinerja pemerintah daerah dalam pengelolaan sampah Adipura. Selain itu, KLHK juga membentuk program kolaborasi dengan dunia usaha, media massa, kelompok masyarakat, dan lembaga adat/agama. Kedua; Pengendalian sampah. Strategi kedua adalah pegendalian sampah pada Daerah Aliran Sungai (DAS), pengendalian sampah plastik dari sektor industri hulu dan hilir. Pada aksi ini, KLHK sudah membentuk Permen LHK tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh produsen yang saat ini sedang dalam tahap pengundangan. Ketiga, Pengelolaan sampah plastik. Aksi ketiga adalah pengelolaan sampah plastik yang berasal dari aktivitas transportasi laut, kegiatan di kawasan wisata bahari, kelautan dan perikanan serta pesisir dan pulau-pulau kecil. Beberapa aksi yang sudah dan sedang dilakukan KLHK antara lain penyusunan draf peraturan pengelolaan sampah mulai dari Reception Facility sampai dengan pengangkutan, support sarana dan prasarana di Labuan Bajo, Karimunjawa, dan Larantuka. Keempat: Diversifikasi skema pendanaan.Aksi keempat adalah diversifikasi skema pendanaan di luar APBN/APBD, memperkuat kelembagaan dan meningkatkan efektivitas pengawasan dan pelaksanaan penegakan hukum, dan kelima; Memacu inovasi. Strategi kelima, memacu inovasi pengelolaan dan mengatasi pencemaran sampah di laut melalui riset dan pengembangan.
Secara kebijakan dan strategi serta aksi yang sudah dilakukan oleh pemerintah merupakan perwujudan dari kebijakan pro lingkungan untuk tetap bergerak kepada pelaksanaan pembangungan yang berkesinambungan (sustainable development), walaupun pelaksanaan kebijakan aksi strategi tersebut belum terlihat luas cakupannya dan belum optimal. Tugas berat bagi pemerintah, namun bukan berarti melupakan pelibatan langsung masyarakat untuk tetap menjaga lingkungan pesisir dan dalam pengelolaan sampah laut dan pesisir berdasar kearifan lokal. Bagaimanapun masyarakat ingin terlibat, namun keadaan dan kesempatan dalam lingkup social dan ekonomi kadang juga menjadi hambatan berarti. Sebagai agen pembangunan pelibatan masyarakat juga swasta, menjadi hal yang harus digaungkan kembali.
Penulis Parmadi., S.E.,M.E